Minggu, 15 Maret 2009

SIKAP GOLPUT BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Istilah golput (golongan putih) menjadi kata yang sering disebut-sebut setiap diadakan sebuah perhelatan besar pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, ataupun presiden. Fenomena sejumlah warganegara yang tidak menyalurkan suara dan aspirasinya dalam sebuah pemilihan semakin meningkat. Ini disebabkan karena tingkat intelektualitas masyarakat terus berkembang. Jumlah masyarakat yang semakin paham tentang dunia politik menjadikan salah satu pemicu masyarakat untuk golput. Berkembangnya pemahaman masyarakat itu, tidak terlepas dari makin derasnya keterbukaan dan informasi melalui berbagai media massa. Masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi tentang calon yang akan dipilih dengan mudah. Selain itu jumlah partai politik yang mencalonkan diri untuk duduk di kursi pemerintahan sudah mencapai 34 partai politik juga disebut-sebut sebagai alasan masyarakat menjatuhkan pilihannya ke golput. Diprediksikan jumlah golput bisa semakin meningkat. Hampir separuh rakyat Indonesia tidak menggunakan hak pilih mereka. Padahal ketika seorang sudah mendapat kartu tanda penduduk (KTP), maka seseorang telah memiliki hak pilih di setiap pemilihan.
Tren golput sudah ada sejak pemilihan umum (pemilu) langsung tahun 2004. Bagaimana pada pemilu tahun 2009 nanti ? Akankah jumlah golput semakin meningkat ataukan justru semakin kecil. Kemungkinan angka golput akan meningkat. Mengingat masyarakat sudah mulai jenuh dengan pemerintahan yang dinilai semakin tidak berpihak kepada rakyat, tetapi justru lebih mementingkan kepentingan pribadi atau partai politiknya. Apalagi akhir-akhir ini masyarakat diberikan tontonan yang menggemaskan dengan munculnya sinyalemen atau berita kasus korupsi yang semakin banyak. Misalnya kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR, kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Bintan, kasus pengadaan kendaraan pemadam kebakaran, dan sebagainya.
Kita tidak sepenuhnya bisa menumpahkan kesalahan kepada para penganut golput. Banyaknya masyarakat yang memilih golput disebabkan karena pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat. Masyarakat melalui media massa memperoleh bahan untuk dapat menilai para penyelenggara negara maupun sistem pemerintahan yang sedang berjalan, termasuk juga di dalamnya adalah kebijakan-kebijakan nasional yang muncul. Masyarakat tentunya tidak mau memilih apalagi menyerahkan kepercayaannya kepada orang yang tidak amanah dan tidak mampu menjaga diri untuk tetap berpihak kepada rakyat. Yang sebenarnya adalah pihak yang menjadikan mereka sebagai orang terhormat, memiliki penghasilan besar, memperoleh fasilitas dan kesejahteraan yang melebihi rata-rata.
Berkaitan dengan fenomena golput yang ada, muncul pertanyaan bagaimanakah dengan anggota masyarakat yang berkedudukan sebagai aparatur negara, yang dalam hal ini berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka juga warga negara yang memiliki hak pilih. Mereka mempunyai hak untuk menentukan pilihan. Dengan argumentasi bahwa golput sering pula dianggap sebagai pelaksanaan hak, yaitu hak untuk tidak memilih calon pasangan yang tidak kredibel atau dianggap tidak mampu menyalurkan asiprasi para pemilih, maka seseorang dianggap sah-sah saja menjadi golput. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah layakkah seorang PNS di daerah ikut menjadi pendukung golput, terutama pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada)? Hal ini mengingat fenomena golput juga mulai muncul pada saat pilkada, bukan hanya pada saat pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Pertanyaan tersebut harus dipahami bahwa pilkada juga merupakan momentum penentuan siapa yang dipilih dan dianggap layak menduduki jabatan pembina kepegawaian tertinggi di daerah. Artinya pasangan calon yang terpilih nantinya akan melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pemimpin tertinggi dalam kegiatan manajemen kepegawaian di daerah. Keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan manajemen kepegawaian di daerah akan banyak diputuskan oleh pasangan tersebut. Seperti kita ketahui sesuai PP Nomor 9 Tahun 2003 sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah maka gubernur, bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan di daerah memiliki kewenangan untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS Daerah.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas maka tindakan golput yang dilakukan oleh sebagian warga negara, yang mungkin saja adalah PNS, tentunya perlu untuk direnungkan kembali. Walaupun ini tentunya bukan dimaksudkan agar para PNS menyalurkan aspirasinya secara membabi buta. Tetapi diperlukan adanya kesadaran dan pemikiran yang rasional dalam mengambil keputusan untuk menjatuhkan pilihan kepada salah satu pasangan calon. Jangan sampai seperti pepatah ”membeli kucing dalam karung”. Karena dengan pilkada tersebut, sebenarnya PNS menentukan pula siapa yang akan menjadi nahkoda manajemen kepegawaian di daerah. Yang pada saatnya nanti diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi kegiatan manajemen kepegawaian yang lebih baik dan sinergis dalam rangka peyelenggaraan pelayanan terhadap publik oleh aparatur pemerintah di daerah. (deha_0808).
Penulis : Dwi Haryono
Sumber : Buletin Kepegawaian Kanreg I BKN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar